Mengajar, Meneliti, dan Mengabdi

IDENTIFYING CREATIVE THINKING PROCESS OF STUDENTS THROUGH MATHEMATICS PROBLEM POSING


International Conference on Statistics and Mathematics and Its Application in the Development of Science and Technology © Bandung Islamic University, October 4-6, 2004

TATAG YULI EKO SISWONO

This research tries to identify student creativity in problem posing task, student creative thinking process and the level of student creative thinking in problem posing task based on a particular text-picture. The research is conducted through qualitative approach to seventh grade students of Junior secondary school at Surabaya ( SMPN 4 Surabaya).
The result from the problem posing task indicate that there are 18,18% students as creative group, 68,18% students as less creative group, and 13,64% students as uncreative group. All students didn’t find difficulties to work on this task.
However, the creative and less creative group enable construct a better result because they at all times revised problem when they faced a hindrance. An opposite situation occurs for uncreative group. The level of creative thinking indicates that the creative students are at 4 or 5 level, the less creative students are 1, 2 or 3, and the uncreative students are at 0 or 1 level.

Keywords: problem posing, creative problem solving model, creativity, creative thinking process, the level of creative thinking

https://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/31423502/tatagyes_interconfunisba.pdf?AWSAccessKeyId=AKIAIWOWYYGZ2Y53UL3A&Expires=1505971683&Signature=9K%2FUe3Win8Z07YEOKSWM24%2FMMUc%3D&response-content-disposition=inline%3B%20filename%3DIdentifying_Creative_Thinking_Process_of.pdf

 

Level of student’s creative thinking in classroom mathematics


It is reasonable to assume that people are creative, but the degree of creativity is different. The Idea of the level of student’s creative thinking has been expressed by experts, such as Gotoh (2004), and Krulik and Rudnick (1999). The perspective of the mathematics creative thinking refers to a combination of logical and divergent thinking which is based on intuition but has a conscious aim. The divergent thinking is focused on flexibility, fluency, and novelty in the mathematical problem solving and problem posing (Silver, 1997). Students have various backgrounds and different abilities. They possess different potential in thinking pattern, imagination, fantasy and performance. Therefore, students have a different level of creative thinking. This research used qualitative approach which aims to describe the characteristic of the level of student’s creative thinking in mathematics. The task-based interview was conducted to collect data from the 8thgrade students of junior secondary school. Snowball method was used to determine subject research. Finally, there were nine students from junior secondary school of “SMP Negeri 6 Sidoarjo” and one student from “SMP Al Hikmah” Surabaya. The result of this research pointed out the five levels of creative thinking that are of level 0 to level 4 which has a different characteristic. This difference is based on fluency, flexibility, and novelty in mathematical problem solving and problem posing.

Key words: Student’s creative thinking, problem posing, flexibility, fluency, novelty.

Level of student’s creative thinking in classroom mathematics

http://www.academicjournals.org/journal/ERR/article-abstract/5D46EBC6243

Note: This article actually is indexed by Scopus at 2011 Scopus indexed

Keyakinan, Pengetahuan, dan Praktik Guru dalam Pemecahan Masalah Matematika


oleh Tatag Yuli Eko Siswono

Pemecahan masalah telah menjadi tujuan pendidikan matematika dan fokus pembelajaran matematika di Indonesia sejak lama. Namun demikian, kemampuan siswa dalam memecahkan masalah belum tampak memuaskan. Perubahan kurikulum beberapa dekade tetap menekankan pada pemecahan masalah. Hal tersebut karena bukti-bukti empirik menunjukkan bahwa pemecahan masalah memberikan manfaat dalam meningkatkan pemahaman konsep, penalaran, berpikir kritis dan berpikir kreatif,  serta aspek-aspek afektif seperti keingintahuan, daya juang, ketelitian, atau kesukaan terhadap matematika. Guru ataupun calon guru sebenarnya telah dibekali pengetahuan tentang materi  maupun pedagogi terkait pemecahan masalah selama studi atau pelatihan-pelatihan.  Pengetahuan tersebut digunakan dalam praktik pembelajaran di kelas masing-masing. Ketika proses pelaksanaan di kelas sebenarnya ada faktor penting yang selama ini belum banyak digali, yaitu keyakinan guru sendiri terhadap materi matematika, pengajaran dan pandangan terhadap siswa yang belajar. Apa sebenarnya keyakinan, pengetahuan, dan praktik guru serta bagaimana hubungan ketiganya dalam pembelajaran matematika? Makalah ini akan berupaya mendeskripsikan pertanyaan-pertanyaan tersebut. proseding seminar nasional IKA S3 Pendiddikan Matematika Unesa

paper_2

Bisa dimanfaatkan link:

http://www.analyzemath.com/math_problems/paper_2.html

 

Konsep Matematika


Legos-math-feature

Konsep merupakan penanda suatu pengetahuan. Pengetahuan tanpa konsep bukan merupakan pengetahuan. Kalau toh sebagai pengetahuan (dalam arti  pengalaman), maka pengetahuan itu perlu diuji. Matematika sebagai pengetahuan menempatkan “konsep” sebagai salah satu objek matematika. Objek matematika yang abstrak memuat fakta, konsep, operasi/prosedur, dan prinsip.

Apa itu konsep? Tidaklah mudah untuk didefinisikan. Seorang ahli mungkin hanya dapat mendeskripsikan dan memberikan contoh bagaimana terbentuknya. Konsep sebagai sesuatu yang abstrak dapat ditelusuri proses terbentuknya dengan pengamatan intuitif berdasarkan pengalaman di kehidupan sehari-hari. Pengamatan eksternal misalkan seorang bayi mampu membedakan mana ibunya dan mana yang bukan ibunya. Dalam benak  bayi tersebut terdapat konsep “ibu”, meskipun belum ada namanya atau mengenal nama “ibu”, “mami”, “mama”, atau “mother”.  Konsep tersebut terbentuk pertama, anak melakukan klasifikasi, kemudian memasangkan satu-satu ciri-ciri yang penting. Proses tersebut merupakan abstraksi dari dari pengalaman-pengalaman yang sama dalam satu ciri umum. Contoh pada matematika dikenal bilangan merupakan proses abstraksi dua kali dari suatu objek-objek. Dua merupakan kardinalitas suatu himpunan objek-objek yang banyaknya dua. Ditulis #(A)= 2,  A adalah suatu himpunan objek.

Konsep adalah suatu ide abstrak untuk mengklasifikasikan suatu objek-objek. Abstraksi merupakan proses menggugurkan sifat-sifat yang tidak penting dan memperhatikan hal-hal yang dianggap penting dari suatu objek-objek. Misalkan konsep segitiga. Sifat-sifat yang penting adalah bangun datar dengan banyak sisi yang membatasi 3. Sifat yang tidak penting misalkan jenis segitiganya, besar-kecil ukurannya, atau perbedaan sudut-sudutnya. Proses pembentukan ini dapat diamati secara intuitif, sehingga proses abstraksinya dikatakan abstraksi klasik.

Ada konsep lain seperti grup dalam matematika yang pendefinisian dan pembentukannya sangat abstrak. Proses abstraksi tidak mengikuti makna abstraksi secara klasik. Suatu konsep yang berdasarkan pengamatan dinamakan konsep primer. Konsep yang terjadi karena proses idealisasi, penambahan syarat dari konsep primer sebelumnya dinamakan konsep sekunder. Konsep memiliki atribut yang melekat, yaitu nama konsep, pengertian/makna konsep, representasi konsep. Pengertian /makna atau definisi merupakan pernyataan yang membatasi konsep. Tidak semua konsep dapat didefiniskan dengan mudah, terutama konsep primer, seperti” merah”, “tiga”, atau “garis”. Konsep tersebut tidak didefinisikan atau sering disebut undifined term. Tidak didefiniskan agar tidak terjadi circulus in definindo. Dengan bahasa ini, agar tidak terjadi berputar-putar dalam pendefinisian atau memberi makna. Contoh dari konsep tersebut dan bukan contohnya dapat diamati.

Penjelasan lebih komprehensif akan ditulis dalam buku “Psikologi Pembelajaran Matematika”. (Surabaya, 19 September 2017)

Sejarah Pecahan


Oleh Tatag Yuli Eko Siswono

(Denpasar, 7 September 2017)

Kata pecahan berasal dari bahasa Latin “fractio” yang berarti memecahkan atau pecahan. Bangsa Mesir pada tahun 1800 SM menuliskan sistem bilangan berbasis 10 dengan hieroglip seperti yang ditulis berikut.

Hieroglyph

Berikut contoh penulisan simbol bilangan 276.
276inhieroglyph
Silakan bagaimana menulis 3481 dalam hieroglip?
Bangsa mesir menulis pecahan dengan menuliskan 1 sebagai pembilang. Gambar mulut ditempatkan di atas bilangan sebagai bagian dari suatu pecahan. Misalkan seperti gambar berikut.
1_5hieroglyph

Bagimana menulis seperduabelas?

Pecahan lain dinyatakan sebagai penjumlahan dari dua pecahan, tetapi tidak diperbolehkan mengulang suatu pecahan.

Contoh:

34
Tetapi penulisan seperti  berikut tidak digunakan. 27
Sistem bilangan Mesir ini sulit untuk menyatakan pecahan dalam bentuk penjumlahan. Untuk mengatasinya bangsa Mesir menyediakan tabel-tabel untuk mengetahui bentuk penulisannya.

Bangsa Romawi kuno menyatakan pecahan sebagai suatu bagian dari keseluruhan dengan menggunakan kata-kata. Mereka menggunakan sebuah satuan berat yang disebut “as”. Salah satunya “as” yang digunakan adalah 12 uncia, sehingga pecahan merupakan seperduabelas. Contoh lainnya adalah:
144

Bangsa Babylonia juga mengembangkan sistem bilangan pecahan yang tidak mudah dituliskan. Baru pada sekitar 500M bangsa India mengembangkan sistem bilangan yang disebut brahmi, yang memiliki sembilan simbol dan nol. Karena terjadi perdagangan dengan bagsa Arab, maka numerasinya tersebar hingga di Arab pada masa yang sama

Simbol berikut menyatakan bilangan-bilangan brahmi seperti yang dikenal sekarang.

arab

Pecahan di India seperti yang kita gunakan hanya antara pembilang dan penyebut tidak dipisahkan garis. Perhatikan contoh berikut.
715

Bangsa Arab menggunakan garis yang mendatar atau menyilang untuk memisahkan pembilang dan penyebut seperti ¾ atau 344.

 

Sumber:

https://nrich.maths.org/2515

 

Sejarah Bilangan Bulat


brahmagupta

Bilangan bulat adalah bilangan yang terdiri dari bilangan asli, nol, dan bilangan asli negatif. Tanda negatif merupakan ciri utama dari bilangan bulat.

Tahun 1890, matematikawan Jepang bekerja pada bilangan itu dan meyebutkkan sebagai Bilangan Bulat (integers). Dalam Bahasa Latin disebut “tidak tersentuh” (untouched). Simbol bilangan bulat menggunakan huruf ‘Z’ dari Bahasa Jerman ‘Zahlen’, yang artinya bilangan.

Nol ditemukan sebelumnya oleh bangsa Babylonia, Mayan, dan India. Matematikawan Hindu India yang pertama menyebut bilangan “nol”. Negara atau bangsa lain belum pernah menyebut “nol” sebagai suatu bilangan hingga  ditemukannya wilayah India.

Sebelum nol digunakan dalam perhitungan, matematikawan menggunakan suatu ruang hitam untuk menentukan sesuatu  yang tidak ada.

Bilangan negatif akhirnya diterima sebagai sistem bilangan pada abad 19. Bilangan negatif diperlukan untuk menyelesaikan persamaan-persamaan yang rumit seperti persamaan kubik atau persamaan kuartik.

Brahmagupta yang hidup sekitar tahun 630 SM di India menggunakan bilangan positif untuk menyatakan sesuatu yang dimiliki (aset), dan bilangan negatif digunakan untuk menyatakan hutang.

Cina terkenal sebagai budaya pertama yang memperkenal dan menggunakan bilangan negatif. Bilangan negatif disajikan dalam batang-batang merah.

Di Eropa bilangan negatif mulai digunakan pada tahun  1545. Sebelum sistem bilangan digunakan, seseorang menggunakan batu, stik, atau jari-jari untuk menghitung.

Girolamo Cardano (1501-1576) adalah matematikawan Itali yang mendeskripsikan  bilangan negatif yang sistematis. Bilangan negatif merupakan selesaian dari persamaan kuadrat maupun kubik.

Sumber:

http://463431396329892656.weebly.com/history-of-integers.html

http://math.tutorcircle.com/number-sense/when-was-the-word-integer-introduced.html

Brahmagupta

Materi Psikologi Pendidikan Matematika (S2)


  1. Masalah-masalah terkait Psikologi dalam Pendidikan Matematika
  2. Pembentukan Konsep Matematis
  3. Ide Skema dan Teori Pemrosesan Informasi
  4. Berpikir Intuitif dan Berpikir Reflektif
  5. Simbol Visual dan Verbal dalam Matematika
  6. Faktor-faktor Interpersonal dan Emosi
  7. Model Intelegensi Kontemporer
  8. Pengetahuan, Perencanaan, dan Keterampilan
  9. Teori Behaviourisme dan Teori Konstruktivisme
  10. Matematika sebagai Aktivitas Berpikir
  11. Pemahaman Relasional dan Pemahaman Instrumental
  12. Belajar dan Kualitas Pemahaman
  13. Komunikasi Matematis: Struktur Permukaan dan Struktur Dalam
  14. Pemahaman Simbolik
  15. Emosi dan Daya Tahan di Kelas
  16. Pengelolalan Resiko-resiko dalam Pembelajaran
  17. Musik dan Matematika

Perbaruan Buku Matematika


images-2Buku Matematika terbitan Esis ini telah 10 tahun menghiasi perbendaharaan buku nasional. Buku ini disiapkan untuk mendampingi para siswa SMP mulai dari kelas VII sampai dengan kelas IX belajar matematika berpandu dengan Kurikulum 2006.

Tahun 2013 buku ini sempat menurun penerbitannya sejak pemerintah memperlakukan kurikulum 2013. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mulai membuat kebijakan baru dalam hal struktur isi kurikulum.

esis8

Pendekatan sainstifik yang dicanangkan pemerintah dalam pembelajaran secara langsung mengubah isi kurikulum dalam hal ini matematika. Pemerintah mengeluarkan buku baru yang disesuaikan dengan kurikulum 2013.

Seiring pemberlakukan kurikulum baru ternyata buku yang dikembangkan masih menimbulkan polemik. Buku hanya memuat soal-soal setara PISA atau TIMSS tidak mempermudah siswa memahami materi maupun menyelesaikan soal yang diberikan. Para guru juga kesulitan mengerjakan soal tanpa panduan atau sumber yang jelas. Banyak pelatihan yang dilakukan dinas-dinas pendidikan atau MGMP guru mata pelajaran matematika untuk membekali guru kemampuan menyelesaikan soal-soal yang ada. Polemik lain juga pada urutan materi terutama materi prasayarat. Maklum dalam matematika urutan merupakan syarat penguasaan terhadap materi selanjutnya.

images-3

Perubahan pemerintahan pada tahun 2015 akhirnya mendorong berlakunya kembali kurikulum 2006. Sekolah atau pun dinas kabupaten/kota dapat menentukan apakah siap menggunakan Kurikum 2013 atau kembali menggunakan Kurikulum 2006. Ternyata banyak daerah yang memilih kembali pada kurikulum 2006, sehingga menjadi berkah bahwa buku ini masih dipertahankan sampai 2017.

Buku ini masih bertahan beredar di sekolah-sekolah meskipun untuk ukuran rata-rata buku, harganya relatif mahal. Buku ini didesaian satu tahun bukan satu semester seperti buku yang ada. Buku ini juga bersaing dengan BSE yang diterbitkan oleh pemerintah.  Buku ini menjadi rujukan karena fitur-fitur yang dimiliki masih relevan untuk kurikulum matematika kapan pun. Buku ini menekankan pada pemecahan masalah dengan dilengkapi berbagai kegiatan dan aktivitas seperti pengajuan masalah untuk berpikir kritis maupun kreatif. Soal-soal cukup banyak berhubungan kehidupan sehari-hari maupun materi lain. Kegiatan penyeledikan authentik juga di munculkan termasuk dengan teknologi atau sumber-sumber internet. Tidak lupa dengan fitur-fitur penilaian dari tes tulis sampai portofolio.

Penulisan buku ini dilaksanakan tahun 2005 sampai 2006 dengan menggunakan berbagai literatur dari luar negeri. Buku Esis ini sebenarnya banyak dirujuk dalam buku BSE atau buku kurikulum 2013 tetapi sayang tidak dicantumkan sebagai sumber referensi.

Tahun 2017 bulan September ini penyesuaian buku dengan kurikulum 2013 revisi 2016 segera dimulai. Beberapa fitur akan dilengkapi dengan menambah beberapa sumber rujukan yang lebih mutakhir. Semoga para pengguna dapat sabar dan membeli kembali buku ESIS edisi terbaru. Terima kasih

 

 

Membuat PTK Itu Gampang!


Demikian ujar seorang guru yang telah mengikuti Workshop Penelitian Tindakan Kelas di SMPN 1 Kedungwaru, Tulungagung. Workshop diikuti oleh semua guru mapel sebanyak kurang lebih 60 orang.

Workshop diawali oleh sambutan salah satu tim senior yaitu Prof Dr. Mega Teguh Budiarto, M.Pd yang menyampaikan ucapan terima kasih dan salamnya dalam Bahasa jawa. Pesan beliau agar para guru dan siswa tidak melupakan Bahasa Leluhur yaitu Bahasa Jawa. Seorang guru menurut beliau perlu mengembangkan profesionalisme untuk meningkatkan kapasitas meneliti dengan cara membuat penelitian tindakan kelas. Selama ini banyak guru yang pangkatnya terhenti pada golongan IVa sebab untuk menaikkan golongan pangkatnya harus membuat karya tulis. Keengganan guru membuat karya tulis terutama berupa PTK mendorong tim kami dari Jurusan Matematika UNESA untuk melakukan workshop sekaligus anjangsana menjalin silaturahmi.

Kepala Sekolah SMPN 1 Kedungwaru adalah  ibu Endah Uriani, S.Pd yang menyampaikan terima kasih dan

 

penghargaan atas kedatangan tim pada acara tersebut. Tidak lupa juga menyampaikan permintaan maaf jika ada sesuatu yang kurang berkenan. Beliau juga berharap di lain waktu dapat memberikan materi-materi tentang pendidikan yang bermanfaat bagi guru-guru.

Moderator workshop adalah Dr. Janet Trineke Manoy, M.Pd sebagai ketua tim pengabdian kepada masyarakat kelompok kami. Materi PTK disampaikan oleh Dr. Tatag Yuli Eko Siswono, M,Pd yang membahas langkah-langkah pembuatan PTK dan memberikan contoh-contoh PTK. Materi berikutnya adalah tentang Penilaian dalam Kurikulum 2013 yang disampaikan oleh Dr. Masriyah, M.Pd. Penilaian berbasis kelas masih diterapkan dalam rangkaian pembelajaran di kelas dan dikaitkan dengan penilaian untuk mengukur ketrampilan berpikir tingkat tinggi.

 

Para peserta antusias dengan mengajukan

pertanyaan-pertanyaan dan menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan. Selain itu juga saling diskusi dengan guru yang sesama mata pelajaran. Suasana ceria itu, akhirnya harus ditutup karena waktu yang membatasi.  Bapak ibu guru mengambil posisi untuk melakukan  foto bersama dan saling bersalaman sebagai tanda berpisahan sementara. “Sertifikat akan diberikan kepada bapak ibu guru di sekolah dengan syarat telah menyelesaikan rencana pembuatan PTK”, demikian informasi yang disampaikan oleh Ketua Tim.

Semoga bermanfaat

 

Penalaran Adaptif dalam Pembelajaran Matematika


adaptif

Judul tulisan di atas sebenarnya merupakan permintaan panitia kegiatan Stadium General Jurusan Pendidikan Matematika Universitas Islam Sunan Ampel Surabaya tanggal 24 Mei 2017.

Tema yang diberikan sangat cerdas dan membuat saya mencari referensi-referensi yang asli dari sumber utama. Penalaran biasanya dikaitkan dengan penalaran yang sifatnya umum sebagai kemampuan untuk berpikir logis atau rasional. Lebih lengkapnya artikel saya kirimkan pada jurnal UINSA dan mudah-mudahan diterbitkan.

Berbicara penalaran adaptif tidak lepas dengan  komponen-komponen kemahiran matematis (mathematical proficiency) siswa dalam belajar matematika. Siswa yang memiliki penalaran adaptif akan berpikir secara logis terhadap materi-materi matematika dan dapat menjelaskan serta membuat pertimbangan-pertimbangan (justifikasi) terhadap sesuatu yang dikerjakan.

Pada kurikulum Indonesia (2006 dan 2013), penalaran secara umum menjadi tujuan mata pelajaran matematika, sehingga penalaran adaptif menjadi aspek penting yang perlu dipelajari dan dikembangkan dalam pengajaran matematika.

Tema ini dapat menjadi sumber dan inspirasi penelitian termasuk oleh mahasiswa S3. Silakan Lihat beberapa artikel berikut.

Investigating adaptive reasoning and strategic competence: Difference male and female

 

 

 

Berita